Jumat, 12 Oktober 2018

Prinsip Dasar Keuangan Syariah


PRINSIP DASAR KEUANGAN SYARIAH


A.      Teori
Ekonomi syariah sebagai salah satu sistem ekonomi yang dipakai di dunia ini, tidak terlepas dari sistem ekonomi mainstream, seperti kapitalisme. Mengejar keuntungan sebagaimana kuat dalam sistem ekonomi kapitalisme, juga sangat dianjurkan dalam ekonomi syariah, namun harus seimbang dengan kemanfaatannya, artinya sebisa mungkin tidak ada pihak yang dirugikan. Lebih lagi, kehalalan dan kebaikan (halalan thoyiban) dalam setiap aspek produksi, transaksi, dan konsumsi menjadi prasyarat dalam ekonomi syariah.
Islam adalah suatu dien yang praktis ,mengajarkan segala yang baik dan bermanfaat bagi manusia. Islam adalah agama fitrah, yang sesusai dengan sifat dasar manusia (human nature).  Aktivitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada, paling tidak, pelaksanaan 2 ajaran al-quran :
1.      Prinsip ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekrja sama antara angggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaiman  dinyatakan dalam Al-quran.
2.      Prinsip menghindari Al-iktinaz, yaitu menahan uang ( dana) dan membiarknya menganggur (idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum.
Perbedaan pokok antara  perbankan islam  dengan perrbankan konvensional adalah  adanya larangan riba pada perbankan islam. Umat islam saaat ini  diberbagai Negara  terus berusaha  untuk mendirikan  bank islam  dengan tujuan untuk mempromosikan  dan mengembangkan  penerapan prinsip-prinsip  syariah  islam dan tradisinya  kedalam tradisi keuangan  dan perbankan  serta  bisnis lain yang terkait.dibawah ini  uraian tentang prinsip-prinsip dasar keuangan syariah.
Prinsip-Prinsip  Dasar Keuangan Syariah
Prinsip-prinsip dasar keuangan syariah  mencakup 5 hal  yaitu:

1. Ibadah 
Islam adalah  suatu  agama yang  mengajarkan segala sesuatu  yang baik dan bermanfaat bagi  manusia. System keuangan  dan perbankan  islam merupakan  bagian  dari konsep yang lebih   luas  tentang ekonomi islam  dimana tujuannya  adalah memberlakukan system nilai dan etika islam  kedalam lingkungan ekonomi, kemampuan lembaga  keuangan  islam menarik investor dengan sukses  bukan hanya tergantung  pada tingkat kemampuan  lembaga itu  menghasilkan  keuntungan , tetapi  juga pada  persepsi bahwa lembaga tersebut  secara sungguh-sungguh  memperhatikan batas–batas  yang digariskan oleh islam. Islam  berbeda  dari agama-agama  lainnya, dalam hal ini ia dilandasi oleh  iman dan ibadah.  atau bisa dikatakan bahwa  transaksi  ekonomi yang dilakukan oleh orang islam dan  dilandasi oleh syariat islam  akan bernilai ibadah di hadapan Allah swt.

  2. Keadilan
Untuk menjamin adanya keadilan, sistem syariah menyediakn sebuah jaringan aturan  etika dan moral untuk semua yang berpatisipasi dalam pasar dan menyediaan norma-norma serta aturan-aturan tersebut dipahami dan ditaati oleh semua.
Pasar mengacu pada adanya faktor-faktor yang dianggap tidak diperbolehkn oleh syariat, seperti penghimpunan, kecurangan, praktik monopoli, dan segala  jenis hubungan  antara pembeli dan penjual yang tidak halal, penimbuna spekulatif , dan memasukkan penawar tinggi tanpa ada maksud untuk membeli.
Syariat melindungi hak milik dari segala bentuk ekploitasi melalui transaksi-transaksi yang tidak adil, larangan riba, penghapusan gharar , qimar (judi), dan masyur (permainan penipuan).

3. Maslahah
Maslahah  menurut bahasa berarti  manfaat, segala sesuatu yang dianggap  maslahat  itu haruslah  berupa maslahat yang hakiki  yaitu yang benar-benar  akan mendatangkan   kemanfaatan  atau menolak  kemudharatan,  bukan berupa dugaan   belaka dengan  hanya memprtimbangkan  adanya kemanfaatan  tanpa melihat  kepada akibat  negatif  yang ditimbulkannya.  Dalam ekonomi maslahah biasanya menyangkut tentang bagaimana  penggunaan dari uang yang digunakan untuk transaksi  yang seharusnya memprioritaskan  kebutuhan umat  dari pada kepentingan umat. Tidak hanya itu tapi juga kehalalan toyiban juga harus jadi prioritas untuk umat islam yang melakukan transaksi  yang sesuai dengan syariat islam, kehalalan toyiban ini  menyangkut dari bagaimana cara memperoleh uang itu sendiri dan memanfaatkannya.

4. Tidak boleh adanya riba
Istilah riba pertama kali  diketahui berdasarkan  wahyu  yang diturunkan  padamasa awal  risalah  kenabian  Muhammad  di makkah, kemungkinan  besar pada  tahun ke IV atau V hijriah  (614/615 M),  praktek riba pada masa pra islam meliputi segala  bentuk  tambahan (peningkatan) jumlah hutang  yang menjadi tanggungan  debitur apabila  tidak dapat mngembalikan hutangnya sesuai  dengan waktu  yang ditentukan. Dalam  agama islam larangan bunga atau larangan riba  secara harfiah  berarti “kelebihan” dan ditafsirkan  sebagai “peningkatan modal yang tidak  bisa dibenarkan  dalam pinjaman maupun  penjualan” ini adalah ajaran pokok dari system keuangan syariah.

5. Tidak boleh  adanya gharar
Setelah  riba, ambiguitas  kontrak merupakan  unsure penting  dalamkontrak  keuangan.  Dalam istilah sederhananya adalah gharar yang mengacu pada ketidak pastian  yang diciptakan  oleh kurangnya  informasi atau control dalam kotrak. Hal ini dapat dianggap  sebagai ketidak pedulian  mengenai  suatu unsur penting  dalam  sebuah transaksi, seperti  harga jual  yang  pasti  atau  kemampuan  penjual untuk  memberikan  apa yang  telah dijual.  Dengan mengingat  pengertian keadilan dalam  semua  transaksi  komersial islam, syariat menganggap  semua  ketidak pastian  tentang jumlah, kualitas, pemulihan, atau keberadaan subjek kontrak  sebagai bukti adanya gharar. Namun,  syariat   mengizinkan  para ahli hukum  untuk  menentukan tingkat gharar dalam suatu transaksi  dan bergantung  pada keadaan,  apakah hal  tersebut membatalkan  kontrak atau tidak. Dengan melarang gharar, syariat  melarang bannyak  kontrak  yang dilakukan  pada masa pra islam,  mengingat kontrak-kontrak tersebut terkait  dengan  ketidak pastian  yang berlebihan  atau kegelapan  pada salah satu pihak   yang terlibat kontrak.  Dalam banyak  kasus,   gharar  dapat dihilangkan  hanya dengan  menyatakan  objek  penjualan  dan harganya. Sebuah kontrak yang terdokumentasi dengan baik  juga menghilangkan  ambiguitas. Mengingat gharar  adalah ketidak pastian  yang berlebihan, kita dapat  menyamakannya dengan unsur resiko.  Beberapa berpendapat  bahwa larangan  gharar adalah  salah satu cara  untuk mengelola resiko  dalam islam  karena transaksi  bisnis  berdasarkan  pembagian  laba dan rugi  yang mendorong  pihak-pihak yang terlibat  untuk melekukan  due diligence sebelum sepakat dalam sebuah kontrak.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar