PRINSIP
DASAR KEUANGAN SYARIAH
A. Teori
Ekonomi syariah sebagai
salah satu sistem ekonomi yang dipakai di dunia ini, tidak terlepas dari sistem
ekonomi mainstream, seperti kapitalisme. Mengejar keuntungan sebagaimana
kuat dalam sistem ekonomi kapitalisme, juga sangat dianjurkan dalam ekonomi
syariah, namun harus seimbang dengan kemanfaatannya, artinya sebisa mungkin
tidak ada pihak yang dirugikan. Lebih lagi, kehalalan dan kebaikan (halalan
thoyiban) dalam setiap aspek produksi, transaksi, dan konsumsi menjadi
prasyarat dalam ekonomi syariah.
Islam adalah suatu dien
yang praktis ,mengajarkan segala yang baik dan bermanfaat bagi manusia. Islam
adalah agama fitrah, yang sesusai dengan sifat dasar manusia (human
nature). Aktivitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai wahana
bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada, paling tidak, pelaksanaan 2
ajaran al-quran :
1. Prinsip
ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekrja sama antara angggota
masyarakat untuk kebaikan, sebagaiman dinyatakan dalam Al-quran.
2. Prinsip
menghindari Al-iktinaz, yaitu menahan uang ( dana) dan membiarknya menganggur
(idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat
umum.
Perbedaan pokok antara
perbankan islam dengan perrbankan konvensional adalah adanya
larangan riba pada perbankan islam. Umat islam saaat ini diberbagai
Negara terus berusaha untuk mendirikan bank islam
dengan tujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan penerapan
prinsip-prinsip syariah islam dan tradisinya kedalam tradisi
keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait.dibawah
ini uraian tentang prinsip-prinsip dasar keuangan syariah.
Prinsip-Prinsip
Dasar Keuangan Syariah
Prinsip-prinsip
dasar keuangan syariah mencakup 5 hal yaitu:
1. Ibadah
Islam
adalah suatu agama yang mengajarkan segala sesuatu yang
baik dan bermanfaat bagi manusia. System keuangan dan perbankan
islam merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi islam dimana
tujuannya adalah memberlakukan system nilai dan etika islam kedalam
lingkungan ekonomi, kemampuan lembaga keuangan islam menarik
investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat
kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan , tetapi
juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara
sungguh-sungguh memperhatikan batas–batas yang digariskan oleh
islam. Islam berbeda dari agama-agama lainnya, dalam hal ini
ia dilandasi oleh iman dan ibadah. atau bisa dikatakan bahwa
transaksi ekonomi yang dilakukan oleh orang islam dan
dilandasi oleh syariat islam akan bernilai ibadah di hadapan Allah
swt.
2. Keadilan
Untuk
menjamin adanya keadilan, sistem syariah menyediakn sebuah jaringan
aturan etika dan moral untuk semua yang berpatisipasi dalam pasar
dan menyediaan norma-norma serta aturan-aturan tersebut dipahami dan ditaati
oleh semua.
Pasar mengacu pada
adanya faktor-faktor yang dianggap tidak diperbolehkn oleh syariat, seperti
penghimpunan, kecurangan, praktik monopoli, dan segala jenis
hubungan antara pembeli dan penjual yang tidak halal, penimbuna
spekulatif , dan memasukkan penawar tinggi tanpa ada maksud untuk membeli.
Syariat melindungi hak
milik dari segala bentuk ekploitasi melalui transaksi-transaksi yang tidak
adil, larangan riba, penghapusan gharar , qimar (judi), dan masyur (permainan
penipuan).
3. Maslahah
Maslahah
menurut bahasa berarti manfaat, segala sesuatu yang dianggap
maslahat itu haruslah berupa maslahat yang hakiki yaitu
yang benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak
kemudharatan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya
memprtimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada
akibat negatif yang ditimbulkannya. Dalam ekonomi maslahah
biasanya menyangkut tentang bagaimana penggunaan dari uang yang digunakan
untuk transaksi yang seharusnya memprioritaskan kebutuhan umat
dari pada kepentingan umat. Tidak hanya itu tapi juga kehalalan toyiban
juga harus jadi prioritas untuk umat islam yang melakukan transaksi yang
sesuai dengan syariat islam, kehalalan toyiban ini menyangkut dari
bagaimana cara memperoleh uang itu sendiri dan memanfaatkannya.
4. Tidak boleh adanya riba
Istilah riba pertama
kali diketahui berdasarkan wahyu yang diturunkan
padamasa awal risalah kenabian Muhammad di
makkah, kemungkinan besar pada tahun ke IV atau V hijriah
(614/615 M), praktek riba pada masa pra islam meliputi segala
bentuk tambahan (peningkatan) jumlah hutang yang menjadi
tanggungan debitur apabila tidak dapat mngembalikan hutangnya
sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dalam agama islam
larangan bunga atau larangan riba secara harfiah berarti
“kelebihan” dan ditafsirkan sebagai “peningkatan modal yang tidak
bisa dibenarkan dalam pinjaman maupun penjualan” ini adalah
ajaran pokok dari system keuangan syariah.
5. Tidak boleh
adanya gharar
Setelah
riba, ambiguitas kontrak merupakan unsure penting
dalamkontrak keuangan. Dalam istilah sederhananya adalah
gharar yang mengacu pada ketidak pastian yang diciptakan oleh
kurangnya informasi atau control dalam kotrak. Hal ini dapat dianggap
sebagai ketidak pedulian mengenai suatu unsur penting
dalam sebuah transaksi, seperti harga jual yang
pasti atau kemampuan penjual untuk memberikan
apa yang telah dijual. Dengan mengingat pengertian
keadilan dalam semua transaksi komersial islam, syariat
menganggap semua ketidak pastian tentang jumlah, kualitas,
pemulihan, atau keberadaan subjek kontrak sebagai bukti adanya gharar.
Namun, syariat mengizinkan para ahli hukum untuk
menentukan tingkat gharar dalam suatu transaksi dan bergantung
pada keadaan, apakah hal tersebut membatalkan kontrak
atau tidak. Dengan melarang gharar, syariat melarang bannyak
kontrak yang dilakukan pada masa pra islam, mengingat
kontrak-kontrak tersebut terkait dengan ketidak pastian yang
berlebihan atau kegelapan pada salah satu pihak yang
terlibat kontrak. Dalam banyak kasus, gharar dapat
dihilangkan hanya dengan menyatakan objek penjualan
dan harganya. Sebuah kontrak yang terdokumentasi dengan baik juga
menghilangkan ambiguitas. Mengingat gharar adalah ketidak pastian
yang berlebihan, kita dapat menyamakannya dengan unsur resiko.
Beberapa berpendapat bahwa larangan gharar adalah salah
satu cara untuk mengelola resiko dalam islam karena transaksi
bisnis berdasarkan pembagian laba dan rugi yang
mendorong pihak-pihak yang terlibat untuk melekukan due
diligence sebelum sepakat dalam sebuah kontrak.